Thursday, January 7, 2010

toleransi, masih adakah...?

Sudah setahun belakangan saya meninggalkan kesenangan saya menyetir mobil. Buat saya, kondisi duduk dibelakang kemudi dan mengendalikan kendaraan itu sungguh suatu kebebasan yg juara bgt. Kita bisa nyanyi keras2, cekikikan, ngoceh ga jelas tanpa ada yg komplen dan mengarahkan kendaraan kemanapun sesuka hati. Tapi kondisi jlnan ibukota yg semakin hari semakin bikin jidat saya berkerut bikin saya memilih duduk manis dan tidur pulas di kendaraan umum berpendingin. Setiap hari, rute yg sama, tapi pengalaman yg berbeda setiap kalinya.

Patas ac yg saya tumpangi setiap pagi umumnya mengangkut mereka yg berpakaian kerja dan 'tampak' berpendidikan. Kadang saya sedih jg melihat ada ibu/bapak yg sudah berumur dan ga kebagian tpt duduk. Kondisi ini sungguh ga mudah buat saya, mengingat waktu perjlnan berangkat yg 1jam dan pulang 2jam, memberikan tpt duduk saya dan berdiri sepanjang jln bener2 bikin badan luluh lantak. Walaupun ga selalu saya lakukan, tp saya usahakan untuk bisa melakukannya. Pernah sekali waktu saya berdiri dan menyediakan tpt duduk saya untuk seorang bapak yg sudah berumur dan kelihatan sulit menjaga keseimbangan, tp kemudian diduduki seorang laki2 yg masih muda. Spontan saya bilang; "mas, saya berdiri dan ngasih kursi untuk bapak itu, bukan untuk mas". Saya ga peduli klopun dia tersinggung, tp sumpah saya salut sama ketidakpedulian laki2 itu.

Seringkli patas ac yg saya tumpangi ga mau masuk ke jalur lambat seperti seharusnya. Jd kami para penumpang harus berjuang untuk bisa nyebrang jln dengan selamat. Kadang kami harus berdiri sekitar 5menit untuk menanti pengendara yg berbaik hati menginjak pedal rem dan memberi jln. Itupun ga bisa langsung nyelonong karena ada aja motor/mobil yg ttp ga mau berhenti. Saya pernah nggeplak pundak seorang pengendara motor saking jengkelnya. Bener2 gada toleransi bgt sama pejalan kaki, apalg sama yg ga bisa nyebrang jln kya saya.

Tiba di gedung perkantoran, lagi2 saya membatin. Mereka yg berpakaian keren mentereng, dengan jas dan dasi, rok mini dan stocking, ternyata ga ngerti etika mengantri dan bertoleransi. Sibuk bergerombol di depan pintu lift, bikin mereka yg keluar lift kesulitan dan terdesak. Atau ga peduli dan tetap menekan tombol 'tutup' walaupun ada orang yg tergopoh2 berlari untuk ikut naik lift. Seperti pengalaman saya kemarin, sudah jelas2 berdiri depan pintu lift yg hampir menutup, si bapak tetap menekan tombol tutup itu. Nyaris jatuh ngejeblak dagu saya, takjub atas kehebatan orang itu untuk tidak bertoleransi.

Ketakjuban saya akan kemampuan bertoleransi penduduk ibukota/Indonesia pun merembet pada hal lainnya.

Pasti banyak dari kita yg pernah menikmati berkendara lancar di bahu jalan bebas hambatan. Saya pun pernah, selain kaki bisa puas nginjak pedal gas sampe pol, adrenalin saya jg terpacu karena kecepatan tinggi yg berbanding dengan tingkat kesulitan mengemudi. Jadi saya mengerti kenapa banyak orang dengan sadar memilih lajur paling kiri untuk menghindari macetnya jalan yg harusnya bebas hambatan. Tp tolong diingat apabila lain kli berkendara dan lampu sen kiri dinyalakan untuk bergeser ke bahu jalan. Jalur itu hanya untuk kondisi darurat. Bayangkan kendaraan yg kta tumpangi mengalami kecelakaan, dan ambulans tidak bisa datang tepat waktu untuk menyelamatkan nyawa kta atau keluarga kta karna bahu jln dipenuhi kendaraan...

Belakangan, kendaraan menjadi sebuah tolak ukur kesuksesan seseorang dan akibatnya pendidikan mengenai aturan berkendara yg baik dan benar seringkli terabaikan. Sepupu saya malah pernah bilang, "orang2 sekarang ini SIM-nya bonus dari beli cemilan, makanya gada aturan".

Aturan yg berlaku buat para pengendara ga cuma soal aturan lalu lintas, tp jg soal kebersihan. Seringkli kta lihat mobil2 bermerk mahal buka jendela dan buang sampah tissue, bungkus permen dll. Sayang ya, mobil bagus ga seimbang sama mental supir dan penumpangnya... Bukan berarti yg naek kendaraan umum bebas lempar sampah loh ya, ga perlu ngomel klo orang lain buang sampah depan kta. Klo memang sdemikian pedulinya, ambil aja sampahnya dan buang ditempat sampah. Semoga si pembuang sampah sadar dan ga ngulangin 'ketidaksengajaan' buang sampah sembarangan.

Pernah dengar tentang sekumpulan warga negara asing yg rutin sweeping sampah setiap sabtu dan minggu di area monas dan senayan? Orang lain aja peduli, kenapa kta yg punya negara malah sibuk tutup mata?...

Anyway, mungkin saya yg salah, saya yg berharap terlalu tinggi dari mereka yg saya nilai berpendidikan (gada hubungan dengan tingkat edukasi ya, simply manner). Berulang kli hal sederhana bernama toleransi dan kepedulian ini terlihat sangat mahal dan bahkan semakin langka di kehidupan kita. Entah apa jadinya negara ini, yg dulu terkenal dengan negara yg penduduknya ramah dan saling toleransi... Mungkin harus spesifik ya mendeskripsikan dua hal tersebut, menjadi; ramah pada siapa dan toleransi sama apa.

Lagi2 saya merasa ga perlu teriak2 dan mengumpulkan masa untuk sekedar mengingatkan semua orang akan perlunya toleransi dan kepedulian akan banyak hal mendasar di sekitar kita. Hidup itu selalu adalah cermin, tempat kita berkaca dan belajar. Jgn sibuk tunjuk sanasini, cukup bercermin dan mulai memperbaiki diri sendiri.

Semoga dari satu orang akan melebar ke banyak orang dan menjadikan perubahan itu nyata adanya.

No comments: