Kampung kecil di sebelah sisi Jawa Barat ini dengan senang hati ku sebut sebagai kampung halaman. Tempat kelahiran Baps, ayah saya. Tempat kami dengan ceria gegap gempita turut serta menjalankan tradisi mudik di hari raya.
Masa kecil libur sekolah, Garut menjadi salah satu tujuan favorit kami berbelas sepupu. Pagi-pagi ikut belanja ke pasar tradisional, dan pulang menenteng satu kresek bolu. Entah apa namanya bolu itu, tetapi belakangan jarang ditemui lagi. Mungkin rasanya pun telah sedikit berbeda. Delman selalu jadi hiburan, sampai pernah teman kakak sepupu yang ikut berlibur sakit perutnya akibat terlalu sering berguncang di delman.
Pernah suatu hari, kami sepakat untuk bermalam di saung. Saung adalah gubuk kecil tempat beristirahat para petani saat bekerja di sawah/ladang. Sore menjelang Maghrib, berbondong-bondonglah kami beserta perlengkapan, dan bawaan saya yang anak bawang tentu saja hanya bantal. Kakak-kakak sepupu lain ada yang membawa keranjang berisi termos, gelas dan kebutuhan lain.
Dengan penerangan petromak, kami pun duduk manis menempati kavling tidur masing-masing, mulai saling berbagi cerita dan terdengarlah suara alam yang tidak umum sama sekali bagi telinga anak kota. Suasana mulai sedikit kurang nyaman, duduk semakin merapat, mulai terdengar rengekan minta pulang.
Setelah bebunyian alam dan lainnya terdengar semakin kuat, akhirnya kita memutuskan untuk pulang. Bergegas kami mengangkat barang (baca: bantal) dan berlari menyusuri pematang sawah.
Dua orang sepupu saya pun sempat terjatuh ke sawah, duh pasti rusak deh sawah petani disana bekas tempat jatuhnya mereka. Suasana tambah panik, walaupun mulai bercampur pekikan geli melihat kedua sepupu berlumur lumpur. Semakin dekat ke rumah, jeritan kami pun semakin nyaring. Dengan nafas terengah-engah dan segala rasa di dalam hati, akhirnya kami tiba di rumah. Malam itupun akhirnya kami tidur lelap dan nyaman di rumah Emak, dan bukan di saung.
Garut akan selalu dan selamanya menjadi kampung halamanku. Walau Emak sudah tidak lagi ada menyambut kepulangan kami, walau hijau persawahan perlahan dan pasti menyulap wajah menjadi bangunan semen, walau kaki tak lagi susuri pematang sawahnya, walau jemari tak lagi menyentuh tanaman padi yang terlalui dan segala perubahan yang hadir bersama perkembangan kotanya.
Garut, beserta segala yang ada, mengalir damai di tubuhku, menetap indah di hatiku, bersenyawa cantik dalam ingatan.
No comments:
Post a Comment