Seorang teman mampir d percakapan dunia maya-ku pagi ini, ga banyak yg tersampaikan, hanya bincang ringan tentang kabar dan sedikit rumpian ga penting tentang seseorang di 'mukabuku'. Dan ketika percakapan nyaris usai, celetukannya tercetus, tentang kebodohan berulang yg dilakukannya. Membuatku tergelitik untuk menanggapi.
Menurutku, setiap sisi kehidupan membuat kta selalu memerlukan sosok yg bisa kita percaya dan bisa membuat kita merasa nyaman untuk menjadi diri kita yg sesungguhnya. Dan terserah kalau ini adalah sebuah pembenaran, tapi (lagilagi) menurutku, dalam banyak hal kita seringkli menjadi mereka yg bermuka dua. Jujur aja, ga mungkin kan jd dirimu 'versi bersama teman baik' pada saat berhadapan dengan para juragan di kantor.. demikian jg sebaliknya. Tinggal seberapa baik kita memainkan peran sesuai tempat dan kapasitas dari peranan itu.
Dan lebih dari itu, kita perlu percaya pada harapan dan citacita. Percaya bahwa selalu ada pelangi setelah hujan badai, percaya bahwa besok matahari masih akan ada. Percaya bahwa akan ada sebuah kesuksesan setelah kegagalan.
Harapan itulah yang dalam banyak hal, membuat kita kembali terperosok di kesalahan dan kebodohan yg sama. Dalam perbincangan pagi ini, harapan akan seseorang untuk hadir menemani seumur hidup kami menjadi sebuah tabir transparan yg nyata adanya. Terkadang kita membutakan diri dari bisikan hati kecil yg mengingatkan bahwa yg terjadi bukanlah sebuah hal baik, dan menggantungkan hidup sepenuhnya atas nama sebuah harapan. Untuk kemudian terjatuh, dan mungkin tidak sekalidua, tapi berkali - lagi dan lagi.
Lantas apakah kemudian kita bodoh?
Untuk kembali percaya dan berharap, untuk kemudian jatuh?
Bukan sebuah hal yg mudah untuk memberi label pada kotak berisi pertanyaan dan penjelasan akan kebodohan, harapan atau pun hal lain dalam kehidupan...
Harapan ada sebagai sebuah tujuan dan pengharapan dari proses kehidupan. Harapan membuat kita semangat menjalani hari demi mendamba ssuatu di masa datang. Seringkli saat harapan itu sungguh amat tinggi, fatamorgana bernama kebahagiaan menyertainya. Segala intuisi dan firasat pun tersekap dalam diri, bergeming di sudut ruang.
Bukan salah harapan untuk hadir...tp pengingkaran akan intuisi dan firasat yg seringkli membuat kta terperosok dalam lubang dan penyesalan yg sama.
Berhenti berharap mungkin rasanya seperti berhenti bernafas dan membiarkan kehidupan berhenti, seperti robot yg bergerak dan berjalan tanpa rasa, tanpa tujuan. Hanya demi kesenangan tuan besar sang pemilik, tanpa memiliki kemewahan untuk merasa dan berpikir akan segala ssuatu.
Harapan tak kan menipu,
Kecuali kau kunci rapat segala rasa dan pikir...
Dan kau dinginkan hati dalam ketidakpedulian...
No comments:
Post a Comment