Beberapa hari belakangan, kata pernikahan dan kebahagian bagai susul menyusul berlomba memenuhi benak saya. Memang sih, segala hal itu baik maupun tidak, kembali kepada bagaimana cara kita melihatnya. Saya ga bilang bahwa penikahan memiliki satu garis lurus sejajar dengan kebahagiaan, maupun sebaliknya. Tapi saya jadi ingat kalimat yang diucapkan teman saya, seorang single parent dengan anak yang akan segera berangkat kuliah di sebuah kota di daerah Jawa. Teman saya bilang; "sekarang giliranku, akhirnya sudah bisa mulai memikirkan hidupku sendiri".
Waktu itu saya cuma diam, belum berhasil meresapi kedalaman makna ucapannya. Teman saya ini model orangtua yang sangat peduli pada anaknya dan hubungan keduanya bisa saya bilang sangat akrab dan dewasa. Mereka bisa berbincang, berdiskusi dan bahkan berargumentasi. Jadi kalimat itu tentunya tidak bermaksud untuk menyesali ataupun mengeluh akan kehidupannya selama ini.
Kemudian saya berbincang dengan beberapa teman, memperhatikan kehidupan rumah tangga mereka, saya mulai menyelami maksud yang tersirat dalam kalimat yang disampaikan teman saya. Dan saya mulai memahami hubungan antara kalimat teman saya dengan kebutuhan akan 'me-time'.
Awal pernikahan, masing-masing akan disibukkan dengan kejutan-kejutan kecil, adaptasi dan kompromi antara satu sama lain. Kemudian dengan hadirnya malaikat kecil, muncul prioritas dan adaptasi yang lebih besar. Waktu, pikiran, tenaga, materi dan lain-lain, dan sebagainya. Mulai hadir suara-suara kecil bertanduk yang menuntut, harapan yang tak terucap dan kekecewaan yang terpendam.
Waktupun seolah bergerak menjauh, menipiskan garis batas, memudarkan bias warna.
Adegan-adegan dalam film Sex and The City 2 pun kembali menggelitik pikiran saya. Betapa Carrie berjuang atas nama ketakutan mati bosan dalam pernikahan tanpa anak. Betapa Charlotte berjuang menjalani kehidupan sebagai ibu dari dua anak perempuan. Betapa tampilan penuh fashion (ajaib) itu begitu sarat kisah.
Pada akhir hari, (mungkin) cinta saja tidak cukup. Diperlukan kelapangan hati dan jiwa dalam penerimaan setiap hal dan peristiwa. Diperlukan komitmen yang kuat tanpa penjara laku dan pikir. Dan tentunya diperlukan kemampuan dan kemauan untuk mengerti dan menerima apa adanya. Rasanya, di atas segalanya, diperlukan kemampuan untuk memaafkan.
Tentu saya tidak lebih tahu dari mereka yang telah menjalani. Ini hanya segelintir pikir dari hasil pengamatan.
Bahwa kebahagiaan, ternyata juga sebuah proses pertanyaan yang takan pernah usai.
Seperti ayam dan telur, mana yang lebih dulu hadir...
Demikian juga kebahagiaan.
Mana yang lebih tepat, kebahagiaan hadir atas kemampuan kita membuat orang lain bahagia, ataukah kebahagiaan kita akan membuat mereka disekeliling berbahagia?...
2 comments:
Dalem banget, Mba..
Kalo aku sih -si manusia simpel-, kebahagiaan itu ada saat hidup kita lengkap: ada susah yang membuat kita bersyukur saat senang dan ada tantangan yang membuat kita bersyukur saat sukses..
"Me-Time" harus selalu diatur oleh semua orang, bukan hanya pria pekerja atau ibu rumah tangga.. itulah gunanya teman dan keluarga, untuk saling menolong dan mendukung (baca: dititipin anak).. Hehehe..
hahaha kok berasa bakal segera dititipin 2jagoan yg akan minta terjemahin film kartun jepang ya...?
tengkyu sdh mampir ya bu.. *_*
Post a Comment