Wednesday, October 13, 2010

The World Goes The Way Your Mind Sees It

Dalam keseharian hidup seringkali kita kembali pada perenungan. Melakukan kilas balik dan menapaki segala yang telah dan akan kita lakukan. Setiap resiko dan perumpamaan, setiap pencapaian dan kegagalan. Manusia secara alami lebih mudah untuk selalu melihat segala sesuatu sebagai kegagalan dan kemudian berdiri di hamparan bumi, menengadahkan wajah menatap gelap langit malam dan menyerukan tanya, 'kenapa?'.

Pernahkah kamu mencoba bertanya, 'kenapa tidak?'.

Ketika kamu duduk di sebuah ruang berpendingin, bersama sebuah buku tebal berbahasa asing, dengan secangkir kopi berharga puluhan ribu rupiah, pernahkan kamu membayangkan apa yang ada dalam pikiran mereka yang berdiri di tengah terik mentari tanpa alas kaki, pernahkah kamu membayangkan berada dalam sebuah mobil mewah yang melaju stabil membelah kemacetan ibukota?

Bahwa Tuhan menciptakan masalah, tentunya juga sudah menyiapkan jalan keluar terbaik beserta pilihan-pilihan yang entah nampak nyata maupun tersembunyi. Bayangkan rumitnya perjalanan kabel dalam sebuah perangkat elektronik, mungkin mirip dengan alur skenario ciptaan Tuhan untuk alur hidup manusia. Bercabang, berkelok dengan segala pilihan.

Pesan untuk tidak selalu melihat ke atas maupun ke bawah itu bukan sebuah kalimat usang nan klise. Selalu dan terlalu seringkali menjadi kata kunci. Melihat ke atas perlu, untuk mampu memotivasi kita menjadi lebih baik. Melihat ke bawah juga harus, untuk menyadari betapa hidup telah sangat bermurah hati.

Membandingkan keadaan rasanya tidak realistis. Karena perjalanan tidak di mulai di titik yang sama dan serupa. Hujan badai dan gelimang sinar matahari hadir pada waktu dan tempat yang berbeda.

Bahagia tidak hadir dalam sebuah kunci menuju pintu berlapis emas dengan lampu sorot meneranginya. Kesedihan dan amarah tidak hadir dalam kantung hitam yang teronggok muram di pojok ruangan.

Dalam sebuah lelang, semua orang berjuang mendapatkan benda yang di inginkan. Berlomba mengajukan penawaran tertinggi. Memaksa diri sampai pada batas akhir kemampuan. Kemudian, diam. Berakhir bahagia bagi mereka yang memenangkan lelang, berakhir pahit bagi mereka yang kalah.

Banyak hal diukur dari kemenangan dan kekalahan. Hasil akhir seolah begitu diutamakan, mengesampingkan segala proses perjuangan yang terjadi sebelumnya.

Tuhan memberi yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.

Percayalah, ketika orang lain mendapatkan apa yang kita inginkan, orang tersebut pasti lebih membutuhkannya daripada kita. Sesuatu tidak selalu tampak seperti apa yang kelihatan.

Dan mungkin, yang kita pikir kita inginkan, tidak benar-benar kita inginkan ketika hal tersebut sudah menjadi milik kita.

Kemudian kebahagiaan, adalah bagaimana cara kita memilih untuk melihat hidup.

No comments: