Kembali pecah kerusuhan yang membawa korban jiwa kemarin di Jakarta. Bagai nafas memburu, dari satu peristiwa ke lainnya. Dari bencana alam sampai ulah manusia, berganti mengguncang bumi pertiwi.
Potongan gambar korban kerusuhan pun membanjiri jejaring sosial, dengan beragam komentar bombastis yang semakin tak jelas kebenaran dan sumbernya. Bukan soal politik, bukan masalah intrik, biarkan bagian itu dibicarakan oleh para pakar yang benar-benar mengerti apa yang mereka perbincangkan.
Ketika pertama kali menerima kiriman gambar korban kerusuhan tersebut, saya merasa terganggu. Bukan karena luka yang tampak jelas terlihat, tetapi atas motivasi pengambil dan pengirim gambar. Dua tahun bekerja di sebuah perusahaan medis membuat saya tahan banting melihat luka terbuka dan darah, jadi tentunya bagian tersebut bukanlah sebuah isu yang melatarbelakangi penulisan artikel ini.
Saya jadi teringat sebuah kecelakaan lalu lintas yang terjadi di depan gedung kantor beberapa waktu yang lalu. Korban kecelakaan yang masih tergeletak di aspal membuat banyak pejalan kaki maupun karyawan di perkantoran sekitar berduyun-duyun menghampiri lokasi kejadian. Dan beberapa orang tampak jelas sibuk mencari posisi untuk kemudian mengarahkan ponsel berkamera miliknya ke arah korban.
Lalu apa?
Kalau anda mendapatkan gambar korban, kemudian apa? Apakah dengan berbangga hati kemudian menyebarkan gambar tersebut untuk meyakinkan semua orang bahwa anda ada di tempat kejadian? Bukankah lebih bijaksana seandainya anda ada disana untuk menolong, bukan sebagai penonton yang hanya berdiri memperhatikan, atau malah sibuk mencari posisi di belakang wartawan agar wajah anda tampil di layar kaca?
Umumnya kemacetan di jalan raya setelah terjadinya kecelakaan adalah munculnya kerumunan manusia yang ingin menyaksikan peristiwa tersebut secara langsung. Ya, pilihan kata itu tidak bombastis. Kebanyakan dari mereka memang hanya menyaksikan, dan walau bagaimanapun, posisi tersebut masih lebih baik daripada menjadi provokator untuk turut andil dalam penghakiman massa.
Saya ingat sebuah aturan (entah tertulis atau tidak, saya lupa persisnya) di perusahaan pertambangan yang melarang penyebaran gambar korban dari kecelakaan, khususnya kecelakaan kerja yang terjadi di area kerja/area pertambangan. Alasannya sederhana saja, tidak etis.
Di dunia medis, tentu aturan ini lebih jelas lagi. Bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan pasien, tidak dapat diberikan ke pihak lain selain pasien dan/atau orang yang secara hukum berhak untuk mengetahuinya. Kerahasiaan data pasien adalah wajib hukumnya.
Bayangkan keluarga anda adalah korban, kemudian gambarnya yang penuh luka dalam kondisi tak bernyawa beredar luas di jejaring sosial, di dunia maya. Bagaimana perasaan anda? Kehilangan saja sudah tidak mudah di hadapi, apalagi mengetahui orang tersebut menjadi objek berita yang tak jelas sumber dan tujuannya.
Biarkan para ahli untuk melakukan tugas sesuai aturan dan tanggung jawab dari peran mereka masing-masing. Para ahli forensik mengambil gambar untuk keperluan penyelidikan, para wartawan untuk menyampaikan berita dan lain-lainnya.
Tentu lebih menyenangkan apabila ingatan terakhir tentang kita berhias wajah ceria penuh senyum, dan bukan hal buruk yang membekas dalam.
- perubahan itu mungkin adanya. semoga dari satu, bertambah satu dan menjadi banyak -
L I F E is a wonder, a place full of surprises and magic... Count your blessing and be thankful
Thursday, September 30, 2010
Sunday, September 26, 2010
suatu malam di dermaga kayu
Sembunyi bintang dari sempurna purnama.
Seperti malam kemarin, rebahku beratapkan langit di dermaga kayu di sisi timur pulau tak bertuan. Angin laut menghantar buih ombak mencumbu bibir pantai penuh cinta.
Menggapai dan menjauh, menyentuh dan berpaling...
Ahhh kapan rindu akan tuntas...
Ketika jemari ombak hanya mampu membelai bibir pantai, tanpa pernah mampu untuk singgah, tak usah lah bermimpi untuk tinggal atau bermalam.
Pernahkah kau mendengar bisikan ombak kepada langit, ketika suara hatinya tersampaikan bersama tengadah laut ke angkasa. "Andai aku raja bumi, ciumanku di bibir pantai akan menjadikannya ombak. Kemudian bersama kami arungi samudra".
Dan dalam harap, ombak pun berbisik sambil mengedipkan sebelah mata kepada bulan. "Kawan, bila hari itu tiba, aku pun mendoakanmu, aku akan menunggu purnama bersanding bersama gemintang".
Pejam mataku pun larut bersama harap untuk mereka...
Suatu hari, mimpi akan mampu mewujud nyata.
Seperti malam kemarin, rebahku beratapkan langit di dermaga kayu di sisi timur pulau tak bertuan. Angin laut menghantar buih ombak mencumbu bibir pantai penuh cinta.
Menggapai dan menjauh, menyentuh dan berpaling...
Ahhh kapan rindu akan tuntas...
Ketika jemari ombak hanya mampu membelai bibir pantai, tanpa pernah mampu untuk singgah, tak usah lah bermimpi untuk tinggal atau bermalam.
Pernahkah kau mendengar bisikan ombak kepada langit, ketika suara hatinya tersampaikan bersama tengadah laut ke angkasa. "Andai aku raja bumi, ciumanku di bibir pantai akan menjadikannya ombak. Kemudian bersama kami arungi samudra".
Dan dalam harap, ombak pun berbisik sambil mengedipkan sebelah mata kepada bulan. "Kawan, bila hari itu tiba, aku pun mendoakanmu, aku akan menunggu purnama bersanding bersama gemintang".
Pejam mataku pun larut bersama harap untuk mereka...
Suatu hari, mimpi akan mampu mewujud nyata.
Monday, September 13, 2010
aku, bandung bondowoso dan sangkuriang
Hari ini aku punya kegiatan baru yang sungguh menghabiskan waktu. Sejak hilang embun tersapu mentari, tenggelamku dalam kotak besi di halaman. Selembar kertas cetak biru terhampar di lantai dingin. Mataku bagai tersihir magnet, kembali dan kembali lagi menyusuri setiap petunjuk, setiap garis dan patahan.
Sisi kiri dan kanan ku susun berbanjar, peralatan bertukang berderet rapi menanti giliran. Setiap sudut dan siku ku ukur dengan seksama, terpicing mata seolah busur pengukur.
Keringat mengucur deras di pelipis, rintihan lapar pun terkalahkan buncahan angan di jiwa. Binar mataku berkawan semangat takkan kalah oleh lapar, bising bahkan jeraan kejam sinar mentari yang seolah membakar adaku di kotak besi. Sungguh bukan tempat yang ku inginkan untuk merajut mimpi.
Bersaing dengan mentari yang kian condong ke barat, ciptaanku pun menjelma perlahan. Setiap bagian kini telah mulai menampakan wajahnya, membuatku ingin menghentikan setiap kedip mata. Sedetik pun demikian berharga, ciptaanku harus selesai sebelum terbenam matahari. Dalam sekejap terlintas perjuangan Bandung Bondowoso demi mendapatkan Loro Jonggrang dan kemudian kemarahan Sangkuriang yang menghasilkan Gunung Tangkuban Perahu. Teralihkan konsentrasiku, memikirkan legenda yang akan muncul atas kegagalan yang mungkin ku hasilkan.
Ahh sudahlah, lanjutkan ciptaanmu teman...
Jahitan jemariku membentuk dan mencipta penuh magis, seolah bumi dan semesta pun menahan nafas. Jantungku berdetak bersama waktu, menghitung mundur sisa nafasku.
Gemetar jemariku, dua kali tarikan lagi. Satu, tarikan nafasku perlahan, satu setengah, ku palingkan wajah agar hembus nafas tertahanku menjauh dari ciptaan maha dahsyatku. Dan terakhir, satu tarikan penutup ku sajikan dengan menawan bersama hawa kemenangan.
Kuluruskan punggung dengan hembusan nafas terakhir, fiuuuhhh...
Sertamerta airmata memburamkan pandang, bersama bebunyian riuh rendah kehancuran ciptaanku.
Ya, aku lupa palingkan wajah saat menghembuskan nafas terakhir...
Beruntunglah Bandung Bondowoso yang menghasilkan Candi Prambanan dan Sangkuriang dengan Gunung Tangkuban Perahu. Sedang aku, hanya mampu menunduk saat malaikat datang menjemput, dengan pandang nanar pada ciptaanku yang tercecer tak berdaya.
Sisi kiri dan kanan ku susun berbanjar, peralatan bertukang berderet rapi menanti giliran. Setiap sudut dan siku ku ukur dengan seksama, terpicing mata seolah busur pengukur.
Keringat mengucur deras di pelipis, rintihan lapar pun terkalahkan buncahan angan di jiwa. Binar mataku berkawan semangat takkan kalah oleh lapar, bising bahkan jeraan kejam sinar mentari yang seolah membakar adaku di kotak besi. Sungguh bukan tempat yang ku inginkan untuk merajut mimpi.
Bersaing dengan mentari yang kian condong ke barat, ciptaanku pun menjelma perlahan. Setiap bagian kini telah mulai menampakan wajahnya, membuatku ingin menghentikan setiap kedip mata. Sedetik pun demikian berharga, ciptaanku harus selesai sebelum terbenam matahari. Dalam sekejap terlintas perjuangan Bandung Bondowoso demi mendapatkan Loro Jonggrang dan kemudian kemarahan Sangkuriang yang menghasilkan Gunung Tangkuban Perahu. Teralihkan konsentrasiku, memikirkan legenda yang akan muncul atas kegagalan yang mungkin ku hasilkan.
Ahh sudahlah, lanjutkan ciptaanmu teman...
Jahitan jemariku membentuk dan mencipta penuh magis, seolah bumi dan semesta pun menahan nafas. Jantungku berdetak bersama waktu, menghitung mundur sisa nafasku.
Gemetar jemariku, dua kali tarikan lagi. Satu, tarikan nafasku perlahan, satu setengah, ku palingkan wajah agar hembus nafas tertahanku menjauh dari ciptaan maha dahsyatku. Dan terakhir, satu tarikan penutup ku sajikan dengan menawan bersama hawa kemenangan.
Kuluruskan punggung dengan hembusan nafas terakhir, fiuuuhhh...
Sertamerta airmata memburamkan pandang, bersama bebunyian riuh rendah kehancuran ciptaanku.
Ya, aku lupa palingkan wajah saat menghembuskan nafas terakhir...
Beruntunglah Bandung Bondowoso yang menghasilkan Candi Prambanan dan Sangkuriang dengan Gunung Tangkuban Perahu. Sedang aku, hanya mampu menunduk saat malaikat datang menjemput, dengan pandang nanar pada ciptaanku yang tercecer tak berdaya.
Wednesday, September 8, 2010
ketika kata...
pada hari
dimana kata termakna ganda
selarik pesan terhantar tirai
sembunyiku
dalam gumpalan awan pembawa hujan
berlariku
pada curam tebing bebatuan
kemudian kata
ahhh apalah artinya kata
ketika makna seolah kiasan
dalam dinding tak bertuan
dimana kata termakna ganda
selarik pesan terhantar tirai
sembunyiku
dalam gumpalan awan pembawa hujan
berlariku
pada curam tebing bebatuan
kemudian kata
ahhh apalah artinya kata
ketika makna seolah kiasan
dalam dinding tak bertuan
Monday, September 6, 2010
H - 5
Setiap kali memasuki bulan suci Ramadhan, perasaan rindu sekaligus sedih selalu hadir di hati saya.
Rindu akan datangnya bulan suci yang begitu mulia, tetapi juga selalu membangkitkan sebuah rasa haru, rasa syukur dan entah jutaan rasa lain yang tak cukup perbendaharaan kata saya untuk menjelaskannya.
Sedih karena khawatir kali ini akan menjadi Ramadhan terakhir, dan sedih kalau-kalau Ramadhan ini akan lewat begitu saja tanpa menghasilkan sesuatu yang berarti.
Dan entah kenapa, kali ini saya merasa makna Ramadhan yang sesungguhnya terasa begitu jauh dari hati dan hidup saya. Semangat jelang Ramadhan yang begitu menggebu seolah embun pagi yang hilang tersapu matahari.
Sungguh, yang tersisa hanya sebuah kesedihan luar biasa atas ketidakmampuan saya memaknai bulan penuh rahmat.
Hari ini, lima hari menjelang hari kemenangan...
Pertanyaan-pertanyaan itu begitu mengusik hati saya;
Apakah kemenangan itu untuk saya?
Apakah saya termasuk ke dalam golongan mereka yang menang?
Entah apa yang sesungguhnya kita cari kalau bukan rahmat, ridho dan ampunan-Nya...
Entah apa sesungguhnya guna harta tahta dan segala yang kita miliki kalau bukan untuk bersyukur dan mendekatkan diri kepada-Nya...
Entah apa sesungguhnya yang ada dalam hati kita atas segala yang telah dilimpahkan-Nya atas kita...
Allah maha mengetahui segala rahasia tergelap yang tersembunyi di relung hati terdalam...
Semoga masih akan ada Ramadhan untuk kita, dan gema takbir Idul Fitri masih akan sempat kita lantunkan.
Semoga waktu masih akan bermurah hati dan memberikan kesempatan bagi hamba Allah untuk selalu menjadi lebih baik lahir dan batin, untuk dunia dan akhirat...
Rindu akan datangnya bulan suci yang begitu mulia, tetapi juga selalu membangkitkan sebuah rasa haru, rasa syukur dan entah jutaan rasa lain yang tak cukup perbendaharaan kata saya untuk menjelaskannya.
Sedih karena khawatir kali ini akan menjadi Ramadhan terakhir, dan sedih kalau-kalau Ramadhan ini akan lewat begitu saja tanpa menghasilkan sesuatu yang berarti.
Dan entah kenapa, kali ini saya merasa makna Ramadhan yang sesungguhnya terasa begitu jauh dari hati dan hidup saya. Semangat jelang Ramadhan yang begitu menggebu seolah embun pagi yang hilang tersapu matahari.
Sungguh, yang tersisa hanya sebuah kesedihan luar biasa atas ketidakmampuan saya memaknai bulan penuh rahmat.
Hari ini, lima hari menjelang hari kemenangan...
Pertanyaan-pertanyaan itu begitu mengusik hati saya;
Apakah kemenangan itu untuk saya?
Apakah saya termasuk ke dalam golongan mereka yang menang?
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (Surat Ar-Rahman)
Entah apa yang sesungguhnya kita cari kalau bukan rahmat, ridho dan ampunan-Nya...
Entah apa sesungguhnya guna harta tahta dan segala yang kita miliki kalau bukan untuk bersyukur dan mendekatkan diri kepada-Nya...
Entah apa sesungguhnya yang ada dalam hati kita atas segala yang telah dilimpahkan-Nya atas kita...
Allah maha mengetahui segala rahasia tergelap yang tersembunyi di relung hati terdalam...
Semoga masih akan ada Ramadhan untuk kita, dan gema takbir Idul Fitri masih akan sempat kita lantunkan.
Semoga waktu masih akan bermurah hati dan memberikan kesempatan bagi hamba Allah untuk selalu menjadi lebih baik lahir dan batin, untuk dunia dan akhirat...
Sunday, September 5, 2010
selamat tidur sayang...
malam ini, ku ucap namamu sebelum mimpi menjemput
dalam bisik lirih, berharap angin membawanya padamu
andai rindu mampu hadir
kan kusajikan ia dalam gemerlap bintang di langit malammu
binar matamu erat dalam ingatan
senyum tenangmu menyirat kata tak tersampaikan
hangat genggam jemarimu penuh cerita
akan satu hari di negeri seberang
lebur diriku pada angin
menyatu dalam udara
menjelma bayangmu
kemudian tinggal dalam hitam bola matamu
jendelapun menutup diri dari malam
menyusul gelap ruang adamu
nafas teratur mengantar mimpi
dan aku tersisa, dalam ruang yang diam
malam ini saja
biarkan aku hadir
aku, dan bukan angin berbayang di udara
diam dalam tenang tidur malammu
menuntunmu ke alam mimpi
selamat tidur sayang
ku titipkan malam pada malaikat
bersama sejuta doa tanpa pinta
pejam mata sayang
hadirkan ku dalam sempurna tidurmu
dalam bisik lirih, berharap angin membawanya padamu
andai rindu mampu hadir
kan kusajikan ia dalam gemerlap bintang di langit malammu
binar matamu erat dalam ingatan
senyum tenangmu menyirat kata tak tersampaikan
hangat genggam jemarimu penuh cerita
akan satu hari di negeri seberang
lebur diriku pada angin
menyatu dalam udara
menjelma bayangmu
kemudian tinggal dalam hitam bola matamu
jendelapun menutup diri dari malam
menyusul gelap ruang adamu
nafas teratur mengantar mimpi
dan aku tersisa, dalam ruang yang diam
malam ini saja
biarkan aku hadir
aku, dan bukan angin berbayang di udara
diam dalam tenang tidur malammu
menuntunmu ke alam mimpi
selamat tidur sayang
ku titipkan malam pada malaikat
bersama sejuta doa tanpa pinta
pejam mata sayang
hadirkan ku dalam sempurna tidurmu
Friday, September 3, 2010
Ramadhan pun beranjak...
This is a note from my cousin... For me, for us...
Sahabatku....Menangislah utk Ramadhan
Jika itu bisa melapangkan gundah yang mengganjal sanubarimu.
Bahwa Ramadhan sudah bergegas di akhir hitungan.
Dan tadarus quranmu tak juga beranjak pada juz empat.
Jika itu adalah ungkapan penyesalanmu.
Jika itu merupakan awal tekadmu untuk menyempurnakan tarawih dan qiyamul lailmu yang centang perenang (ah, pasti kamu masih ingat obrolan tadi siang ketika dengan senyum manisnya teman ruanganmu berucap, "alhamdulillah tarawihku belum bolong. " dan kamu merasa ada malaikat yang menjauh darimu dan pindah padanya. Kamu merasa sendiri, terasing.)
Menangislah,
Biar butir bening itu jadi saksi di yaumil akhir.
Bahwa ada satu hamba Allah yang bodoh, lalai, sombong lagi terlena.
Yang katanya berdoa sejak dua bulan sebelum ramadhan, yang katanya berlatih puasa semenjak rajab, yang katanya rajin mengikuti taklim tarhib ramadhan,
tapi...,
tapi sampai puasa hari ke dua puluh masih juga menggunjingkan kekhilafan teman ruanganmu, masih juga tak bisa menahan ucapan dari kesia-siaan, tak juga menambah ibadah sunnah...
Bahkan hampir terlewat menunaikan yang wajib.
Menangislah, lebih keras...
Allah tak menjanjikan apa-apa untuk Ramadhan tahun depan, apakah kamu masih disertakan, sedangkan Ramadhan sekarang cuma tersisa beberapa hari.
Tak ada yang dapat menjamin usiamu sampai untuk Ramadhan besok, sedang Ramadhan ini tersia-siakan.
Menangislah.
Dan tuntaskan semuanya di sini, hari ini.. Malam ini. Karena besok waktu akan bergerak makin cepat, Ramadhan semakin berlari. Tahu-tahu sudah sepuluh hari terakhir dan kamu belum bersiap untuk itikaf. Dan lembar-lembar quran menunggu untuk dikhatamkan.
Dan keping-lembar mata uang menunggu disalurkan.
Dan malam menunggu dihiasi sholat tambahan.
Sekarang, atau (mungkin) tidak (ada lagi) sama sekali..
Sahabatku....Menangislah utk Ramadhan
Jika itu bisa melapangkan gundah yang mengganjal sanubarimu.
Bahwa Ramadhan sudah bergegas di akhir hitungan.
Dan tadarus quranmu tak juga beranjak pada juz empat.
Jika itu adalah ungkapan penyesalanmu.
Jika itu merupakan awal tekadmu untuk menyempurnakan tarawih dan qiyamul lailmu yang centang perenang (ah, pasti kamu masih ingat obrolan tadi siang ketika dengan senyum manisnya teman ruanganmu berucap, "alhamdulillah tarawihku belum bolong. " dan kamu merasa ada malaikat yang menjauh darimu dan pindah padanya. Kamu merasa sendiri, terasing.)
Menangislah,
Biar butir bening itu jadi saksi di yaumil akhir.
Bahwa ada satu hamba Allah yang bodoh, lalai, sombong lagi terlena.
Yang katanya berdoa sejak dua bulan sebelum ramadhan, yang katanya berlatih puasa semenjak rajab, yang katanya rajin mengikuti taklim tarhib ramadhan,
tapi...,
tapi sampai puasa hari ke dua puluh masih juga menggunjingkan kekhilafan teman ruanganmu, masih juga tak bisa menahan ucapan dari kesia-siaan, tak juga menambah ibadah sunnah...
Bahkan hampir terlewat menunaikan yang wajib.
Menangislah, lebih keras...
Allah tak menjanjikan apa-apa untuk Ramadhan tahun depan, apakah kamu masih disertakan, sedangkan Ramadhan sekarang cuma tersisa beberapa hari.
Tak ada yang dapat menjamin usiamu sampai untuk Ramadhan besok, sedang Ramadhan ini tersia-siakan.
Menangislah.
Dan tuntaskan semuanya di sini, hari ini.. Malam ini. Karena besok waktu akan bergerak makin cepat, Ramadhan semakin berlari. Tahu-tahu sudah sepuluh hari terakhir dan kamu belum bersiap untuk itikaf. Dan lembar-lembar quran menunggu untuk dikhatamkan.
Dan keping-lembar mata uang menunggu disalurkan.
Dan malam menunggu dihiasi sholat tambahan.
Sekarang, atau (mungkin) tidak (ada lagi) sama sekali..
Subscribe to:
Posts (Atom)