Thursday, September 30, 2010

Hentikan Penyebaran Gambar Korban

Kembali pecah kerusuhan yang membawa korban jiwa kemarin di Jakarta. Bagai nafas memburu, dari satu peristiwa ke lainnya. Dari bencana alam sampai ulah manusia, berganti mengguncang bumi pertiwi.

Potongan gambar korban kerusuhan pun membanjiri jejaring sosial, dengan beragam komentar bombastis yang semakin tak jelas kebenaran dan sumbernya. Bukan soal politik, bukan masalah intrik, biarkan bagian itu dibicarakan oleh para pakar yang benar-benar mengerti apa yang mereka perbincangkan.

Ketika pertama kali menerima kiriman gambar korban kerusuhan tersebut, saya merasa terganggu. Bukan karena luka yang tampak jelas terlihat, tetapi atas motivasi pengambil dan pengirim gambar. Dua tahun bekerja di sebuah perusahaan medis membuat saya tahan banting melihat luka terbuka dan darah, jadi tentunya bagian tersebut bukanlah sebuah isu yang melatarbelakangi penulisan artikel ini.

Saya jadi teringat sebuah kecelakaan lalu lintas yang terjadi di depan gedung kantor beberapa waktu yang lalu. Korban kecelakaan yang masih tergeletak di aspal membuat banyak pejalan kaki maupun karyawan di perkantoran sekitar berduyun-duyun menghampiri lokasi kejadian. Dan beberapa orang tampak jelas sibuk mencari posisi untuk kemudian mengarahkan ponsel berkamera miliknya ke arah korban.

Lalu apa?

Kalau anda mendapatkan gambar korban, kemudian apa? Apakah dengan berbangga hati kemudian menyebarkan gambar tersebut untuk meyakinkan semua orang bahwa anda ada di tempat kejadian? Bukankah lebih bijaksana seandainya anda ada disana untuk menolong, bukan sebagai penonton yang hanya berdiri memperhatikan, atau malah sibuk mencari posisi di belakang wartawan agar wajah anda tampil di layar kaca?

Umumnya kemacetan di jalan raya setelah terjadinya kecelakaan adalah munculnya kerumunan manusia yang ingin menyaksikan peristiwa tersebut secara langsung. Ya, pilihan kata itu tidak bombastis. Kebanyakan dari mereka memang hanya menyaksikan, dan walau bagaimanapun, posisi tersebut masih lebih baik daripada menjadi provokator untuk turut andil dalam penghakiman massa.

Saya ingat sebuah aturan (entah tertulis atau tidak, saya lupa persisnya) di perusahaan pertambangan yang melarang penyebaran gambar korban dari kecelakaan, khususnya kecelakaan kerja yang terjadi di area kerja/area pertambangan. Alasannya sederhana saja, tidak etis.

Di dunia medis, tentu aturan ini lebih jelas lagi. Bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan pasien, tidak dapat diberikan ke pihak lain selain pasien dan/atau orang yang secara hukum berhak untuk mengetahuinya. Kerahasiaan data pasien adalah wajib hukumnya.

Bayangkan keluarga anda adalah korban, kemudian gambarnya yang penuh luka dalam kondisi tak bernyawa beredar luas di jejaring sosial, di dunia maya. Bagaimana perasaan anda? Kehilangan saja sudah tidak mudah di hadapi, apalagi mengetahui orang tersebut menjadi objek berita yang tak jelas sumber dan tujuannya.

Biarkan para ahli untuk melakukan tugas sesuai aturan dan tanggung jawab dari peran mereka masing-masing. Para ahli forensik mengambil gambar untuk keperluan penyelidikan, para wartawan untuk menyampaikan berita dan lain-lainnya.

Tentu lebih menyenangkan apabila ingatan terakhir tentang kita berhias wajah ceria penuh senyum, dan bukan hal buruk yang membekas dalam.

- perubahan itu mungkin adanya. semoga dari satu, bertambah satu dan menjadi banyak -

No comments: