Hari ini aku punya kegiatan baru yang sungguh menghabiskan waktu. Sejak hilang embun tersapu mentari, tenggelamku dalam kotak besi di halaman. Selembar kertas cetak biru terhampar di lantai dingin. Mataku bagai tersihir magnet, kembali dan kembali lagi menyusuri setiap petunjuk, setiap garis dan patahan.
Sisi kiri dan kanan ku susun berbanjar, peralatan bertukang berderet rapi menanti giliran. Setiap sudut dan siku ku ukur dengan seksama, terpicing mata seolah busur pengukur.
Keringat mengucur deras di pelipis, rintihan lapar pun terkalahkan buncahan angan di jiwa. Binar mataku berkawan semangat takkan kalah oleh lapar, bising bahkan jeraan kejam sinar mentari yang seolah membakar adaku di kotak besi. Sungguh bukan tempat yang ku inginkan untuk merajut mimpi.
Bersaing dengan mentari yang kian condong ke barat, ciptaanku pun menjelma perlahan. Setiap bagian kini telah mulai menampakan wajahnya, membuatku ingin menghentikan setiap kedip mata. Sedetik pun demikian berharga, ciptaanku harus selesai sebelum terbenam matahari. Dalam sekejap terlintas perjuangan Bandung Bondowoso demi mendapatkan Loro Jonggrang dan kemudian kemarahan Sangkuriang yang menghasilkan Gunung Tangkuban Perahu. Teralihkan konsentrasiku, memikirkan legenda yang akan muncul atas kegagalan yang mungkin ku hasilkan.
Ahh sudahlah, lanjutkan ciptaanmu teman...
Jahitan jemariku membentuk dan mencipta penuh magis, seolah bumi dan semesta pun menahan nafas. Jantungku berdetak bersama waktu, menghitung mundur sisa nafasku.
Gemetar jemariku, dua kali tarikan lagi. Satu, tarikan nafasku perlahan, satu setengah, ku palingkan wajah agar hembus nafas tertahanku menjauh dari ciptaan maha dahsyatku. Dan terakhir, satu tarikan penutup ku sajikan dengan menawan bersama hawa kemenangan.
Kuluruskan punggung dengan hembusan nafas terakhir, fiuuuhhh...
Sertamerta airmata memburamkan pandang, bersama bebunyian riuh rendah kehancuran ciptaanku.
Ya, aku lupa palingkan wajah saat menghembuskan nafas terakhir...
Beruntunglah Bandung Bondowoso yang menghasilkan Candi Prambanan dan Sangkuriang dengan Gunung Tangkuban Perahu. Sedang aku, hanya mampu menunduk saat malaikat datang menjemput, dengan pandang nanar pada ciptaanku yang tercecer tak berdaya.
No comments:
Post a Comment