rasa dingin selalu menjalari tengkuk setiap kali perbincangan tentang kematian menyeruak. detak jantung berlipat, dan terasa lemas seluruh persendian. padahal seharusnya kita bisa menerima segala lahir dan mati dengan lapang dada. karena toh semua berawal dari ketiadaan.
tp kemudian, bagaimana dengan keberadaan mereka para orangtua kita, yg telah lebih dulu hadir dan kita tdk pernah merasakan ketdkberadaan mereka? rasanya, berawal dr tiada mendapat pengecualian dalam hal ini...
seringkli saya memperhatikan mereka tidur, memastikan gerakan dada naikturun teratur menandakan mereka bernafas dan masih hidup. seringkli saya letakkan telunjuk di bawah hidungnya saat mereka lelap, memastikan ada hembusan udara membelai jemari. dan apabila mereka terlalu lama dikamar mandi tanpa suara, saya seringkli memanggil hanya untuk memastikan mereka baik2 saja.
konyol mungkin ya, tp saya ga sanggup membayangkan kehidupan tanpa mereka...
dan ketika kematian terjadi pd mereka yg hadir dr ketiadaan, tidak pula membuat segala sesuatunya terlihat dan terasa lebih mudah. karena seringkli, perasaan dan keberadaan yg telah hadir, membekas begitu dalam dan meninggalkan berjuta pendar warna dalam hidup.
perpisahan yg muncul atas nama kematian, tdk akan pernah terasa lebih mudah. akan ada sesal, kemarahan dan kekecewaan serta rasa yg tak tersampaikan, yg kemudian bertumpuk menyisakan duka dan luka...
sementara perpisahan yg muncul atas nama jarak, waktu dan perbedaan, menyisakan pedih, marah dan kecewa yg tak terucap di hadapan, tp mampu tersampaikan lewat berbagai media.
hargai waktu seperti seolah matahari tiba2 berhenti bersinar dan melupakan terbenamnya
hargai hidup seperti embun yg setia menemani dinihari dgn sejuk dan damainya
hargai cinta, seperti ombak yg tak lelah mencumbui bibir pantai
dan hargai mereka yg hidup, seperti nafas yg sejalan dengan kehidupan
No comments:
Post a Comment