Pagi ini saya mencetuskan ide untuk menjadikan memasak sebagai salah satu resolusi 2011. Dan lucunya, komentar yang muncul sebagian besar mengaitkan rencana ini dengan akan hadirnya sebuah acara besar berundangan.
Pernah beberapa waktu lalu, saya sempat dekat dengan seseorang. Dia tidak menuntut saya untuk bisa memasak, dan dia sendiripun cukup piawai di dapur. Tapi satu kalimatnya yang cukup melekat di ingatan saya adalah, "Gapapa kamu ga bisa masak sekarang, nanti lama-lama juga tertarik dan bisa". Wihhh rasanya saya yang pengen pop the question; will you merry me?...
Ada satu lagi, dulu, lama sekali. Dirumah gada orang, betul-betul hanya saya sendirian. Dia tau betul saya bukan perempuan dapur. Jadi sore itu dia telpon, tanya apakah saya sudah makan atau belum. Tentu saja saya belum makan. Ga lama setelah itu, bel rumah saya bunyi. Yup, dia yang datang. Datang dan langsung nyelonong ke dapur, longok-longok kulkas, dan masak. Sederhana aja, dia masakin saya nasi goreng dan telur ceplok. Nemenin saya makan dan ngobrol, terus pulang. Sampai sekarang, melihat apa yang sudah kejadian diantara kita, saya ga habis pikir kenapa kita ga nemu jalan buat bisa sama-sama.
Well anyway...
Saya memang tidak pernah di ajak untuk terlibat di dapur, salah satu sebab utama mungkin karena ibu saya pun tidak suka pekerjaan di dapur. Tapi beberapa tahun belakangan, saya mulai tertarik untuk bisa memasak. Dengan rasa gengsi yang betul-betul memenuhi hati dan menghalangi niat saya.
Malas untuk memulai suatu hal baru yang kemudian menimbulkan komentar dan rasa takjub karena saya tiba-tiba melakukan sesuatu yang memang bukan saya.
Saya mulai tertarik untuk belajar memasak, alasannya sederhana dan sama sekali tidak berhubungan dengan siapapun dan apapun. Hanya karena saya tau kalau suatu hari nanti, saya tidak bisa mengandalkan orang lain untuk mengatasi rasa lapar dan berisiknya naga-naga dalam perut saya. Sesederhana itu.
Mengganggu sekali membaca komentar kebanyakan orang yang mengaitkan keinginan belajar memasak dengan sebuah pernikahan. Kalau syarat menikah itu lebih kepada sebuah kemampuan memasak dan piawai di dapur, saya pasti gakan jadi perempuan yang berdiri paling depan untuk sebuah pernikahan.
Perempuan harus bisa memasak, menjahit, bisa urus suami dan ini dan itu. Kenapa banyak kalimat harus itu diawali dengan gender perempuan? Kenapa bukan sebaliknya? Atau lebih bagus lagi kalau tidak perlu ada semua aturan itu, karena manusia hidup untuk belajar menjadi manusia yang lebih baik, manusia yang mengerti kodrat dan tanggungjawabnya.
Apakah kemudian, memasak dan tinggal di rumah adalah kodrat perempuan? Sekali lagi, saya percaya kodrat manusia tidak terbatas gender. Pemikiran berkembang, setiap manusia punya peran masing-masing yang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya.
Selesai.
Kodrat, perempuan, memasak, tidak harus berada dalam satu kalimat.
Seperti juga memasak, saya dan undangan. Tidak harus berbaris sejajar.
No comments:
Post a Comment